Friday, 26 April 2024

Search

Friday, 26 April 2024

Search

Dua Tahun Kudeta Militer, Myanmar Masih Alami Krisis 

BANGKOK(IM) — Kudeta militer Myanmar yang menggulingkan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi telah berlangsung selama dua tahun. Ribuan warga sipil tewas dalam konflik sipil dan banyak warga yang terpaksa mengungsi meninggalkan rumah mereka.

Perekonomian Myanmar pernah menjadi salah satu yang tumbuh paling cepat di Asia Tenggara. Sejak kudeta meletus, perekonomian Myanmar menjadi tertinggal.

Namun situasinya kini berubah, kudeta militer memicu aksi protes. Ribuan warga turun ke jalan-jalan dalam protes damai yang ditekan dengan kekuatan mematikan.

Pada 1 Februari 2021, tentara Myanmar menangkap Suu Kyi dan anggota tertinggi partai Liga Nasional untuk Demokrasi yang berkuasa. Suu Kyi telah menang telak untuk mengamankan masa jabatan kedua dalam pemilihan umum November 2020.

Tentara mengatakan mereka bertindak karena ada kecurangan dalam pemungutan suara. Tetapi pemantau pemilu independen tidak menemukan kejanggalan besar. Kudeta ini dipimpin oleh seorang Jenderal senior Min Aung Hlaing. Dia berperan dalam penumpasan protes pro-demokrasi pada 2007. Kini Min Aung Hlaing memimpin pemerintahan militer Myanmar.

Penggulingan pemerintah sipil memicu demonstrasi yang meluas dan pembangkangan sipil. Pasukan keamanan menghancurkan demonstrasi oposisi dengan kekerasan.  

Sejauh ini, hampir 3.000 warga sipil telah tewas dan puluhan ribu lainnya terpaksa meninggalkan rumah mereka akibat pertempuran antara pasukan keamanan dan warga sipil yang mengangkat senjata. 

Bahkan warga sipil bersekutu dengan kelompok etnis bersenjata yang telah memperjuangkan otonomi selama beberapa dekade.

Dua tahun setelah tentara merebut kekuasaan, kehidupan di Yangon dan kota-kota besar lainnya telah kembali normal. Tetapi pertempuran di sebagian besar pedesaan telah membuat negara itu terperosok dalam konflik sipil.

Pembela hak asasi manusia (HAM) mengatakan, militer dan pasukan keamanan telah melakukan penangkapan sewenang-wenang, serta melakukan penyiksaan dan pelanggaran lainnya untuk memadamkan perbedaan pendapat.  

Kelompok pemantau hak asasi manusia pada Rabu (2/1) mengatakan, militer Myanmar beralih ke serangan udara untuk menghancurkan perlawanan bersenjata.

Militer bertanggung jawab atas penggunaan kekerasan besar-besaran di seluruh negeri. Militan oposisi telah melakukan pengeboman dan pembunuhan terhadap pejabat militer dan pendukung mereka.  

Min Aung Hlaing pada Selasa menuduh para penentang kekuasaan militer mencoba untuk mengambil kekuasaan dengan “cara paksa yang salah.”

Bank Dunia memperkirakan ekonomi Myanmar akan tumbuh 3 persen pada 2023, dengan beberapa kekuatan di bidang pertanian dan industri seperti pembuatan garmen. Pertumbuhan ini lebih kecil dari 2019, sebelum pandemi Covid-19 dan kudeta militer.

Kembalinya militer ke tampuk kekuasaan telah menghambat satu dekade reformasi dan membuat 40 persen penduduk hidup dalam kemiskinan. 

Terlepas dari kontrol devisa yang ketat dan ketidakpastian atas peraturan dan regulasi di bawah kekuasaan tentara, beberapa bisnis menemukan cara untuk beroperasi dengan menggunakan pembayaran informal dan saluran perdagangan. Pembukaan kembali rute perdagangan Myanmar dengan China juga membantu pertumbuhan ekonomi.

Tetapi risiko masalah keamanan meningkat karena konflik sipil.

Perebutan kekuasaan militer mengundang kecaman internasional. Sejumlah negara menjatuhkan sanksi, dan memotong beberapa aliran keuangan ke junta. 

Tetapi negara-negara tetangga di Asia Tenggara dan sekutu Myanmar yang paling kuat, Tiongkok, telah menolak keras untuk mengambil tindakan tersebut.

Jalan keluar dari krisis Myanmar masih buntu. Pemerintah yang dikendalikan militer memberlakukan undang-undang tentang pendaftaran partai politik. Langkah ini mempersulit kelompok oposisi untuk mengajukan tantangan serius terhadap kandidat yang didukung tentara dalam pemilihan umum (pemilu) pada akhir tahun ini.

Kritikus mengatakan, pemilihan yang direncanakan militer tidak akan bebas atau adil karena tidak ada media bebas. Sementara sebagian besar pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi dan Suu Kyi telah ditangkap. 

Partai tersebut telah menyatakan tidak akan menerima atau mengakui pemilu. Mereka menggambarkan pemilu yang digelar militer adalah “palsu”. Menurut mereka, pemilu merupakan taktik militer untuk mendapatkan legitimasi politik dan pengakuan internasional.  

Rencana pemilu ini juga ditentang oleh Pemerintah Persatuan Nasional. Pemerintah tandingan ini dibentuk oleh anggota parlemen terpilih yang dilarang mengambil kursi ketika tentara merebut kekuasaan. Pemerintah Persatuan Nasional berfungsi sebagai administrasi nasional paralel bawah tanah.

Satuan-satuan dari Tentara Nasional Rakyat, sayap bersenjata dari gerakan pro-demokrasi yang dilarang, telah berusaha mengganggu persiapan pemilu. Mereka menyerang aparat pemerintah militer yang sedang melakukan survei penduduk untuk menyusun daftar pemilih.

Sementara itu, Suu Kyi yang merupakan kepala pemerintahan de facto, telah ditangkap dan ditahan sejak kudeta. Pada Desember, pengadilan memvonis Suu Kyi tujuh tahun penjara atas tuduhan korupsi. Militer menjatuhkan berbagai tuduhan terhadap Suu Kyi dengan total hukuman penjara 33 tahun.

Frans C. Gultom

Berita Terbaru

Baca juga:

Follow International Media