Monday, 20 May 2024

Search

Monday, 20 May 2024

Search

Mewujudkan Masyarakat Berdaya melalui Program Pemberdayaan Masyarakat

JAKARTA—Akademia Noto Negoro (ANN) menyelenggarakan webinar dengan tema pemberdayaan masyarakat yang diselenggarakan pada Sabtu (1/4) via zoom meeting.

Pemberdayaan masyarakat menjadi tema keberlanjutan atas tema webinar-webinar sebelumnya mengenai desa dan masyarakat.

Pemateri yang dipilih untuk memantik diskusi adalah Dr. Drs. Bambang Kuncoro, M.Si. dan Dr. Haryo Kunto Wibisono, S.AP, M.AP dipandu oleh moderator Kasmiah Ali, S.Sos. M.A.P dalam webinar yang diikuti 47 peserta ini.

        Tema pemberdayaan masyarakat dipilih untuk menjadi diskusi lanjutan atas webinar sebelumnya yang beberapa kali telah mengkaji mengenai desa dan pemberdayaan.

Narasumber pertama, Dr. Drs. Bambang Kuncoro, M.Si. dari Universitas Nahdliatul Ulama Purwokerto menjelaskan konsep pemberdayaan masyarakat yang sebenarnya sudah diupayakan oleh pemerintah melalui program yang berkelanjutan dimulai pada masa orde baru tahun 1970-1998 terdapat IDT (inpres desa tertinggal) dan transmigrasi.

Tahun 1998-1999 merupakan masa transisi terdapat program pemberdayaan masyarakat berupa jaring-jaring sosial atau JPS padat karya.

Pada masa Gus dur tahun terdapat program Kesehatan, pendidikan, bahkan kompensasi BBM, kemudian pada rentang 2001-2014 terdapat PNPM (Program nasional pemberdayaan masyarakat mandiri), BLT (Bantuan Langsung Tunai), dan Raskin. Terakhir program pemberdayaan terbaru dari pemerintah terdapat PIP (Program Indonesia Pintar), KIP (Kartu Indonesia Pintar), dan Dana Desa. Konsep pemberdayaan yang diusung oleh Dr. Drs. Bambang Kuncoro sebenarnya bukan hanya menyelesaikan program atau memberikan barang namun seharusnya to give power or authority atau memberikan kekuatan dan to give ability atau memberikan kemampuan.

        Narasumber menyatakan bahwa metode action research  merupakan kunci pemberdayaan dari. Refleksi secara terus menerus baik secara individu, masyarakat atau organisasi yang  diberi kekuatan untuk mengatur kehidupan sendiri agar dapat memahami hak dan kewajibannya sesuai status dan perannya di masyarakat.

Realisasi pemberdayaan dapat digambarkan pada interaksi antara fasilitator dan masyarakat. Fasilitator dapat menggunakan entry point melalui masalah dan potensi desa dalam proses pemberdayaan masyarakat untuk kemudian menjalankan kolaborasi bersama pemerintah, akademisi, dan juga bisnis.

Pemberdayaan masyarakat seharusnya menjadi hal yang berkelanjutan mulai dari persiapan sosial seperti wawancara atau FGD untuk menemukan motivasi masyarakat.

Proses terus menerus dijalankan dari implementasi, refleksi, evaluasi dan monitoring. Proses ini bisa dipadukan dengan program saat ini seperti kurikulum merdeka belajar yang memiliki nilai 4C berupa critical thinking, communication, collaborative, dan creativity.

Dr. Drs. Bambang Kuncoro, M.Si. menekankan bahwa yang terpenting dari pemberdayaan adalah sesuai dengan inti masalah yang selaras dengan kebutuhan masyarakat. Dengan pola pikir tersebut masyarakat harusnya memiliki keinginan dan termotivasi untuk bertanggungjawab sehingga hasil dari pemberdayaan dapat sesuai.

        Pemaparan materi dilanjutkan oleh narasumber kedua yaitu Bapak Dr. Haryo Kunto Wibisono, S.AP. M.AP yang merupakan dosen Universitas Negeri Surabaya.

Narasumber memantik diskusi dengan membagikan hasil pengalamannya melakukan pemberdayaan dalam kegiatan KKN mahasiswa dengan tema interpretasi Kembali makna sampah di kabupaten Lamongan. Latar belakang pendidikan pembicara yang mempelajari mengenai administrasi negara dan antropologi menjadi kombinasi pendekatan dalam melakukan pemberdayaan sehingga dapat mengetahui masalah utama yang ada dalam masyarakat. Tantangan besar yang dihadapi pada kasus pemberdayaan sampah yang dilakukan oleh Dr. Haryo Kunto Wibisono adalah mengarahkan perilaku manusia dan mengapa kebijakan dari pemerintah tidak berjalan.

        Pembicara menekankan bahwa pemberdayaan harus tentang membawa orang-orang yang berada di luar proses pengambilan keputusan ke dalamnya. Ini memberikan penekanan yang kuat pada akses ke struktur politik dan pengambilan keputusan formal dan, di bidang ekonomi, pada akses ke pasar dan pendapatan yang memungkinkan orang untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan ekonomi.

Pada kasus yang dijalankan mengenai sampah pendekatan dilakukan melalui penguatan isu sampah agar terus menerus dibicarakan dalam masyarakat melalui metode seperti slogan “sampahku adalah tanggung jawabku”, mengubah makna sampah menjadi ekonomis memiliki harga, festival sampah, dan mengembangkan Lembaga yang mengelola keberlanjutan sampah melalui bank sampah dan komunitas terbentuk melalui ibu-ibu PKK, Karang taruna dan lainnya.

        Kegiatan webinar dilanjutkan dengan sesi diskusi dari peserta yang dipandu oleh moderator. Dr. Samodra Wibawa membagikan pengalamannya di dusun yang telah mengadakan kunjungan ke desa bank sampah namun tidak ada tindak lanjut sehingga mempertanyakan bagaimana Teknik yang seharusnya dilakukan untuk mengelola sampah. 

Pertanyaan juga menekankan bahwa kasus pemberdayaan hanya berjalan ketika ada pendampingan saja. Narasumber menjelaskan bahwa model tersebut sering kali terjadi dalam proses pemberdayaan karena itu adalah model topdown yang tidak menekankan nilai kebutuhan masyarakat sehingga orientasi yang seharusnya dilakukan adalah proses melalui riset dialog untuk didiskusikan di akademik yang akan dikembalikan masyarakat.

Pengalaman narasumber pertama bahkan tidak menemukan masalah hingga 6 bulan proses riset. Hal yang perlu diperhatikan adalah apa kebutuhan masyarakat sebenarnya.  Dr. Haryo juga menekankan tantangan terbesar dari pemberdayaan adalah keberlanjutan.

Dari pengalaman yang dilakukan narasumber memberikan buku panduan, SOP pelaksanaan dan hal-hal yang bersifat administratif untuk menjaga keberlangsungan atau paling tidak ada struktur organisasi yang dilegalisasi oleh kepala desa yang bersangkutan. Hal yang perlu diperhatikan adalah engagement melalui pemilihan lokasi yang mampu tetap dijangkau.

        Sesi diskusi dilanjutkan dengan peserta yang memberikan contoh kasus program dari pemerintah pusat yang memberikan bibit kakao dan alat memasak namun penggunaan hanya sementara hitungan bulan sehingga dinilai tidak efektif.

Gambaran pemerintah terus memberikan program pemberian barang fisik yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga barang tidak digunakan maksimal seharusnya dievaluasi. Ini merupakan gambaran pemberdayaan yang bersifat formalitas saja. Seolah sudah dilakukan pemberdayaan melalui benda fisik tapi tidak bisa membangun institusi sosialnya. Yang menarik sebenarnya adalah pembangunan capacity building dari organisasi masyarakatnya. Kombinasi dari advokasi juga diperlukan melalui policy brief kepada dinas-dinas tertentu dalam forum-forum diskusi Bersama diperlukan agar program pemerintah dapat tepat sasaran.

        Darwis B juga memantik diskusi dengan mempertanyakan bagaimana melakukan elaborasi atas tantangan yang ada dalam implementasi meliputi komunikasi, sumber daya, disposisi, dan birokrasi.

Sebenarnya hal seperti ini sering kali dialami oleh pemberdayaan yang analisisnya biasanya dari teoritis sehingga seharusnya dilakukan kolaborasi dari teori dan praktik. Yang perlu dilakukan titik tengah kolaborasi antara top-down dan buttomup. Governance saat ini tidak hanya satu aktor namun banyak seperti NGO, Privat, media, komunitas, dan lainnya. Hal ini merupakan konfigurasi kolaborasi untuk memecahkan permasalahan pemberdayaan yang bukan hanya dilakukan oleh pemerintah sehingga kuncinya adalah mempertemukan aktor tersebut.

        Kegiatan webinar diakhiri melalui kesimpulan yang disampaikan oleh moderator bahwa yang perlu diperhatikan dalam pemberdayaan masyarakat adalah proses, orientasi pada proyek terlebih barang fisik bisa menyebabkan kegagalan dalam pemberdayaan.

Juga, Pendekatan yang perlu ditekankan kepada masyarakat adalah kebutuhan bukan semata keinginan.  (Hibah Huwaidaul Husna, Mahasiswa UGM)

Sukris Priatmo

Berita Terbaru

Baca juga:

Follow International Media