Perjalanan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump ke Timur Tengah dimulai dengan keberangkatannya dari Washington DC menuju Arab Saudi pada Senin (12/5) waktu setempat. Internationalmedia.co.id melaporkan, kunjungan bersejarah ini diyakini akan memadukan upaya diplomasi terkait konflik Gaza dan Iran dengan negosiasi kesepakatan bisnis besar. Air Force One, pesawat kepresidenan AS, lepas landas membawa Trump menuju rangkaian kunjungan yang mencakup Qatar dan Uni Emirat Arab, dengan kemungkinan perundingan di Turki terkait perang Ukraina juga masuk dalam agenda.
Bayang-bayang perang Gaza yang dilancarkan Israel terhadap Hamas menjadi beban berat dalam kunjungan pertama Trump di masa jabatan keduanya ini. Namun, sebuah kabar baik muncul sebelum keberangkatannya. Sandera AS-Israel, Edan Alexander, berhasil dibebaskan Hamas dan diserahkan kepada Palang Merah Internasional. "Itu berita besar," ujar Trump di Gedung Putih sebelum keberangkatan. "Dia akan pulang ke rumah orang tuanya, yang merupakan berita sangat bagus. Mereka mengira dia sudah meninggal," tambahnya.

Ironisnya, meskipun sempat sesumbar akan mengakhiri konflik Gaza dengan cepat sebelum kembali menjabat, Trump belakangan tampak kurang agresif dalam upayanya. Ketegangan juga terlihat dalam hubungannya dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu terkait Gaza, serangan Houthi di Yaman, dan penanganan program nuklir Iran. Trump menyatakan ada "hal-hal sangat baik yang terjadi" dalam pembicaraan antara Washington dan Teheran mengenai ambisi nuklir Iran, namun menegaskan Iran "tidak dapat memiliki senjata nuklir".
Trump berharap ada perkembangan lebih lanjut di Gaza selama kunjungannya ke Teluk, menyebut kunjungan ini melibatkan "tiga negara utama" di kawasan tersebut. Ia juga berharap pembebasan sandera Alexander menjadi awal dari pembebasan sandera lainnya. Hamas sendiri meminta Trump untuk "melanjutkan upaya" mengakhiri perang, sementara Netanyahu mengirimkan mediator ke Qatar untuk negosiasi lebih lanjut. Kunjungan ini pun menyisakan pertanyaan besar: akankah misi perdamaian Trump berhasil, atau justru kesepakatan bisnis yang menjadi prioritas utama?