Internationalmedia.co.id melaporkan adanya perkembangan mengejutkan dalam perseteruan antara mantan Presiden AS Donald Trump dan Jaksa Agung New York, Letitia James. Badan Keuangan Perumahan Federal AS (FHFA) kini meminta penyelidikan pidana terhadap James atas dugaan pemalsuan catatan terkait properti miliknya di Virginia dan New York. Langkah ini dinilai sebagai aksi balas dendam Trump terhadap James yang sebelumnya menggugatnya atas dugaan penipuan.
Perseteruan keduanya memanas sejak Oktober 2023, saat James mengajukan gugatan perdata terhadap Trump dan anak-anaknya, menuduh mereka melakukan penipuan real estat senilai lebih dari USD 100 juta (sekitar Rp 1,5 triliun). James menuntut denda USD 250 juta, larangan bisnis di New York bagi Trump dan putra-putranya, serta larangan real estat komersial selama lima tahun bagi Trump dan Trump Organization. Gugatan ini bahkan memaksa Trump untuk menghadiri sidang di pengadilan New York.

Kini, berdasarkan laporan media AS yang dikutip AFP pada Kamis (17/4/2025), FHFA meminta Departemen Kehakiman untuk menyelidiki James. FHFA menuduh James memalsukan catatan untuk mendapatkan persyaratan pinjaman yang lebih menguntungkan. Kantor James membantah tuduhan tersebut, menyebutnya sebagai upaya intimidasi dari pemerintahan yang menggunakan pemerintah federal untuk melawan hukum dan konstitusi. Baik FHFA maupun Departemen Kehakiman belum memberikan komentar resmi.
Surat rujukan FHFA, yang sebagian isinya dimuat media AS, menyatakan James diduga memalsukan dokumen bank dan catatan properti untuk mendapatkan bantuan dan pinjaman pemerintah dengan persyaratan yang lebih baik. Ironisnya, dalam gugatan perdata sebelumnya, Trump sendiri dinyatakan bertanggung jawab atas penipuan dan diwajibkan membayar USD 454 juta.
Sejak kembali menjabat sebagai Presiden, Trump diketahui kerap bersumpah membalas dendam pada mereka yang dianggapnya telah mengkhianatinya. Beberapa tindakan pembalasan telah dilakukan, termasuk pemecatan staf FBI dan Departemen Kehakiman yang terlibat dalam kasus pidana terhadapnya. Kasus ini pun semakin memperkeruh suasana politik AS dan menimbulkan pertanyaan mengenai independensi lembaga penegak hukum.