Amarah membuncah dari Gedung Putih. Internationalmedia.co.id melaporkan, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengecam keras serangan Rusia di Kyiv yang menewaskan sedikitnya 12 warga sipil dan melukai sekitar 90 orang lainnya. Serangan besar-besaran itu, yang terjadi Jumat (25/4/2025), mengguncang ibu kota Ukraina dan memicu kecaman internasional. Trump, yang tengah berupaya mendorong perdamaian, mengeluarkan pernyataan tegas melalui media sosial Truth Social: "Vladimir, STOP!"
Serangan yang digambarkan Trump sebagai "tidak perlu" dan "sangat tidak tepat waktunya" ini, merupakan serangan terbesar yang melanda Kyiv sepanjang tahun ini. Bangunan-bangunan hancur, kebakaran berkecamuk, dan petugas penyelamat masih berjuang mengevakuasi korban dari reruntuhan berjam-jam setelah serangan. Trump bahkan menyebut angka kematian di pihak Rusia, "Sebanyak 5.000 tentara tewas dalam seminggu. Mari kita wujudkan Kesepakatan Damai!"

Pernyataan Trump ini muncul di tengah upaya negosiasi perdamaian yang rawan. Baik Kyiv maupun Moskow berupaya menunjukkan kemajuan kepada Trump, namun serangan brutal ini justru menghambat proses tersebut. Gedung Putih bahkan mengancam akan menghentikan upaya perdamaian jika tidak ada kemajuan signifikan dalam waktu dekat. Trump juga mengkritik Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky terkait penolakan Kyiv mengakui pendudukan Rusia atas Crimea. Meskipun demikian, Trump yakin Putin akan mendengarkan seruannya.
Kementerian Pertahanan Rusia mengklaim serangan tersebut menargetkan kompleks industri militer Ukraina, menggunakan senjata presisi tinggi. Namun, Menteri Luar Negeri Ukraina, Andrii Sybiha, membantah klaim tersebut dan menyatakan Rusia-lah yang menghambat perdamaian. Laporan Angkatan Udara Ukraina menyebutkan Rusia meluncurkan 145 drone dan 70 rudal, termasuk 11 rudal balistik, dengan 112 target berhasil dihancurkan oleh pertahanan udara Ukraina. Trump sendiri mengaku memiliki tenggat waktu untuk mencapai penyelesaian damai, namun ia enggan merinci lebih lanjut. Situasi di Ukraina tetap tegang dan masa depan proses perdamaian masih belum jelas.