Internationalmedia.co.id melaporkan peristiwa mengerikan di Rafah, Jalur Gaza. Sedikitnya 27 warga sipil tewas ditembak oleh militer Israel saat mengantre bantuan kemanusiaan. Insiden ini memicu kecaman keras dari berbagai pihak, termasuk PBB yang menyebutnya sebagai kejahatan perang.
Mahmud Bassal, juru bicara badan pertahanan sipil Gaza, menyatakan bahwa pasukan Israel menggunakan tank dan drone dalam serangan tersebut. Lebih dari 90 orang lainnya dilaporkan mengalami luka-luka. Peristiwa berdarah ini terjadi di area Al-Alam, Rafah, dekat pusat distribusi bantuan yang dikelola Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF), sebuah organisasi yang didukung Amerika Serikat dan Israel.

Militer Israel mengakui telah menembakkan senjata ke arah kerumunan warga sipil yang berada sekitar setengah kilometer dari lokasi distribusi bantuan. Mereka mengklaim bahwa warga sipil tersebut mendekati pasukan mereka dengan cara yang dianggap mengancam. Namun, pernyataan tersebut tidak merinci jumlah korban tewas dan hanya menyatakan bahwa insiden tersebut sedang diselidiki.
Kecaman keras datang dari kepala hak asasi manusia PBB, Volker Turk. Ia menyebut serangan tersebut sebagai kejahatan perang yang tidak dapat dibenarkan. Turk menekankan bahwa serangan yang menargetkan warga sipil merupakan pelanggaran berat hukum internasional. Ia mendesak dilakukan penyelidikan cepat dan tidak memihak serta meminta pertanggungjawaban pihak yang bertanggung jawab.
Insiden ini merupakan yang terbaru dalam serangkaian peristiwa serupa. Pada Minggu (1/6), sedikitnya 31 orang tewas dalam insiden serupa, namun militer Israel membantah tuduhan tersebut. PBB sendiri tidak bekerja sama dengan GHF karena kekhawatiran terkait prinsip kemanusiaan seperti netralitas dan independensi. Turk menyoroti dilema mengerikan yang dihadapi warga Palestina: memilih antara kelaparan atau risiko terbunuh saat berusaha mendapatkan bantuan. Sistem distribusi bantuan yang dimiliterisasi, menurutnya, membahayakan nyawa dan melanggar standar internasional.