Internationalmedia.co.id melaporkan, junta militer Myanmar kembali mengkhianati janjinya. Meskipun telah berjanji gencatan senjata pasca gempa bumi dahsyat berkekuatan magnitudo 7,7 yang menewaskan sedikitnya 3.700 orang pada akhir Maret lalu, serangan militer justru terus berlanjut. Informasi ini didapat dari laporan BBC pada Rabu (30/4/2025).
Janji gencatan senjata yang disampaikan beberapa hari setelah gempa, sebenarnya merupakan respons atas deklarasi gencatan senjata terlebih dahulu dari kelompok pemberontak. Namun, realitanya jauh berbeda. Selama sepuluh hari sejak pertengahan April, militer Myanmar melancarkan serangan berulang di wilayah pemberontak di Negara Bagian Karenni. Serangan roket dan mortir yang dilakukan kaki tangan junta bahkan menewaskan dan melukai warga sipil serta milisi perlawanan.

Salah satu korban, Khala (45), tewas dalam serangan udara di tempat yang diyakini keluarganya aman. Istrinya, Mala (31), yang saat ini tengah hamil tujuh bulan, menceritakan kepiluannya. Mereka sekeluarga sempat pulang ke Desa Pekin Coco setelah gencatan senjata diumumkan pada 2 April, namun serangan mendadak kembali menghantam. "Dia meninggal di tempat yang dia kira akan aman," isak Mala, mengenang suaminya. Tragedi ini tak berhenti sampai di situ, serangan udara lainnya menewaskan empat orang lainnya di jalan yang sama.
Perang saudara yang telah berkecamuk sebelum gempa semakin memperparah penderitaan rakyat Myanmar. Lebih dari dua juta orang kini terlantar dan membutuhkan bantuan, belum termasuk 2,5 juta pengungsi sebelumnya. Negara Bagian Karenni, yang relatif terpencil, menjadi tempat berlindung sekaligus sasaran empuk serangan. Meskipun gempa tak menimbulkan korban jiwa di sana, rumah sakit dipenuhi korban luka. Bahkan, sebuah lubang menganga sepanjang 30 meter muncul di hutan sekitar Kota Demoso, yang awalnya disangka serangan udara.
PBB mengecam pelanggaran gencatan senjata oleh militer Myanmar dan menyerukan penghentian serangan. Namun, Dewan Administrasi Negara, badan yang berkuasa, belum memberikan komentar resmi, malah mengklaim diserang kelompok perlawanan. Di lapangan, Stefano (23), anggota Pasukan Pertahanan Bangsa Karenni (KNDF), menyebut gencatan senjata sebagai lelucon. Ia dan pasukannya tak percaya pada janji junta, dan siap membalas serangan jika diserang. Serangan militer tak hanya menyasar milisi, tapi juga warga sipil, seperti perempuan berusia 60 tahun yang tewas akibat serangan roket ke lahan pertanian.
Seorang dokter di rumah sakit darurat, Thi Ha Tun (32), mengatakan telah merawat sekitar 12 pasien akibat luka perang sejak gencatan senjata diumumkan, dua di antaranya meninggal. Ia melihat satu-satunya solusi adalah terus melawan junta militer. Bagi sebagian besar warga Karenni, gencatan senjata hanyalah ilusi, ancaman serangan udara tetap membayangi kehidupan mereka. Bahkan, Pastor Philip menganggap gempa bumi yang merusak gereja bukanlah ancaman terbesar, melainkan serangan udara junta militer.