Internationalmedia.co.id melaporkan keprihatinan PBB terkait situasi di Jalur Gaza. Juru bicara PBB, Stephane Dujarric, mengungkap fakta mengejutkan: 87,7% wilayah Gaza berada di bawah kendali militer Israel atau zona pengungsian, bahkan sebagian besar berada di kedua zona tersebut. Kondisi ini memaksa sekitar 2,1 juta warga Gaza hidup terhimpit di area terbatas dengan akses layanan yang nyaris nihil.
Lebih dari 1,3 juta penduduk Gaza membutuhkan tempat berlindung dan perlengkapan rumah tangga. Keadaan diperparah cuaca ekstrem, kepadatan penduduk, dan pergantian tenda darurat yang terus-menerus akibat kerusakan. Situasi ini semakin mencekam karena pasokan bantuan tempat tinggal terhenti selama lebih dari empat bulan. Krisis bahan bakar juga semakin memperburuk keadaan, dengan pasokan terbatas yang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Prioritas penggunaan bahan bakar pun difokuskan pada operasi paling krusial.

Laporan mengerikan bermunculan; kasus malnutrisi parah meningkat drastis. Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan lebih dari selusin warga, termasuk anak-anak, meninggal akibat kelaparan dalam 24 jam terakhir. Sejak perang dimulai Oktober 2023, sedikitnya 86 orang, termasuk 76 anak-anak, telah meregang nyawa karena kelaparan dan dehidrasi. Media pemerintah Gaza bahkan memperingatkan ancaman kematian massal akibat penutupan hampir total perlintasan perbatasan selama lebih dari 140 hari.
Data Kementerian Kesehatan Gaza, yang diakui kredibilitasnya oleh PBB, mencatat hampir 59.000 korban jiwa akibat perang yang tak henti-hentinya. Penghancuran infrastruktur, terutama sistem kesehatan, telah memicu krisis kemanusiaan yang mengerikan di Gaza. Situasi ini menggambarkan gambaran suram dan memprihatinkan di Jalur Gaza yang membutuhkan perhatian dunia internasional secara serius.
