Internationalmedia.co.id – Peluang Sanae Takaichi untuk menjadi Perdana Menteri perempuan pertama Jepang menghadapi tantangan berat setelah koalisi partai berkuasa mengalami perpecahan. Mundurnya mitra koalisi menjadi pukulan telak bagi ambisi politisi konservatif garis keras ini.
Partai Demokrat Liberal (LDP), yang mendominasi pemerintahan Jepang pasca-perang, baru saja memilih Takaichi sebagai ketua partai. Namun, untuk menduduki kursi Perdana Menteri, Takaichi harus mendapatkan persetujuan dari parlemen akhir bulan ini. Situasi yang semula dianggap mudah, kini berubah rumit setelah Komeito, mitra koalisi LDP, memutuskan untuk menarik dukungan.

Tetsuo Saito, pemimpin Komeito, mengungkapkan bahwa kemitraan yang telah terjalin selama 26 tahun retak akibat ketidakmampuan LDP dalam mengatasi skandal pendanaan politik yang terus menghantui partai tersebut. Komeito pun menyatakan tidak akan mendukung Takaichi dalam pemungutan suara parlemen mendatang. Takaichi sendiri mengaku sangat menyesalkan keputusan Komeito, namun berjanji akan berupaya keras untuk mendapatkan dukungan parlemen.
Di sisi lain, partai-partai oposisi terus berupaya untuk bersatu di belakang kandidat alternatif. Gejolak politik ini terjadi menjelang serangkaian pertemuan diplomatik penting Jepang, termasuk KTT multilateral di Malaysia dan Korea Selatan, serta kunjungan Presiden AS Donald Trump.
Pengunduran diri Komeito membuka peluang bagi Takaichi untuk menjalin aliansi dengan partai lain, seperti Partai Inovasi yang berhaluan kanan-tengah. Sementara itu, Partai Demokrat Konstitusional (CDP), partai oposisi utama, mengisyaratkan dukungan mereka terhadap Yuichiro Tamaki, pemimpin Partai Demokrat untuk Rakyat, sebagai penantang Takaichi dalam perebutan kursi Perdana Menteri.
Selain tantangan politik, Takaichi juga menuai kritik atas pernyataannya yang menyerukan anggota partai untuk "bekerja seperti kuda pekerja" dan menolak gagasan "keseimbangan kerja-kehidupan". Pernyataan ini memicu protes dari sekelompok pengacara yang menangani kasus karoshi atau kematian akibat kerja berlebihan. Mereka menilai pernyataan Takaichi tidak sensitif dan berpotensi memperburuk masalah work-life balance di Jepang.