Thursday, 02 May 2024

Search

Thursday, 02 May 2024

Search

Masyarakat Diimbau Tak Sembarang Minum Antibiotik, Berpotensi Jadi Pandemi Baru!

JAKARTA (IM)- Penggunaan obat antibiotik yang tidak tepat guna sangat berbahaya. Dampaknya bukan hanya menyebabkan resistensi obat dari berbagai macam bakteri, tapi memicu munculnya pandemi baru.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menerangkan bahwa ketika seseorang dinyatakan resistensi obat, maka ketika dia terinfeksi, obat antibiotik apapun tidak lagi berguna.

Situasi ini tentu sangat berbahaya, karena obat-obatan yang tersedia sudah tidak lagi efektif dan sensitif terhadap penyakit.

“Penggunaan obat antibiotik yang tidak rasional sangat membahayakan, karena bisa menimbulkan resistensi. Ini harus dicegah,” kata Menko PMK, kemarin.

Lebih lanjut, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK Y. B. Satya Sananugraha menerangkan bahwa saat ini anti-mikroba yang resisten telah diidentifikasi sebagai silent pandemic yang merupakan ancaman baru bagi manusia.

Kondisi ini terjadi akibat penyakit infeksi yang semakin sulit disembuhkan. Salah satu faktor penyebabnya adalah karena obat-obatan yang tersedia sudah tidak efektif dan sensitif terhadap penyakit.

“Pandemi ini akan meningkatkan risiko penyebaran penyakit, keparahan penyakit, hingga terjadi kematian dan timbul kedaruratan kesehatan masyarakat,” kata Satya.

“Disebut silent pandemic, karena jumlah kasus dan kematian akibat resistensi anti-mikroba ini tidak terdeteksi dan terlaporkan,” tuturnya.

Diketahui sebelumnya, potensi terjadinya pandemi akibat resistensi anti-mikroba sangat nyata. Salah satu contoh resistensi anti-mikroba adalah terjadinya tuberkulosis resisten obat (TB-RO) akibat dari pengobatan pasien yang tidak adekuat maupun penularan dari pasien TB-RO itu sendiri.

Menurut Global TB Report 2022, kasus TB-RO diperkirakan mencapai 28.000 kasus dari total 969.000 kasus TB yang ada di Indonesia di 2021.

Selain itu, berdasarkan laporan dari Kementerian Kesehatan (2022) melalui Monev Pelaksanaan Permenko PMK Nomor 7 tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistensi Anti-Mikroba 2020-2024, ditemukan peningkatan persentase ESBL (extended-spectrum beta-lactamases) sebanyak 6,1 persen pada manusia.

Hal ini menunjukkan terjadinya peningkatan kekebalan (resistensi) bakteri penyebab penyakit tertentu terhadap pengobatan anti-mikroba. Kondisi tersebut perlu menjadi kewaspadaan semua pihak untuk melakukan upaya pencegahan dan pengendaliannya.

Ya, keterlibatan banyak pihak sangat diperlukan di sini sebagai upaya pencegahan yang komprehensif. Itu kenapa 10 organisasi profesi dan asosiasi kesehatan manusia maupun hewan bergandengan tangan melaksanakan upaya pencegahan dan pengendalian resistensi anti-mikroba ini.

Sejumlah organisasi profesi dan asosiasi itu, antara lain Ikatan Dokter Indonesia, Perkumpulan Dokter Hewan Indonesia, Ikatan Apoteker Indonesia, Asosiasi Obat Hewan Indonesia, Asosiasi Dokter Hewan Perunggasan Indonesia, Perkumpulan Rumah Sakit Indonesia, Akselerasi Puskesmas Indonesia, Asosiasi Klinik Indonesia, Persatuan Perawat Nasional Indonesia, dan Ikatan Bidan Indonesia.

“Partisipasi aktif dari organisasi dan asosiasi tersebut diharapkan tidak hanya dapat memperkuat kapasitas tenaga kesehatan dalam pengelolaan anti-mikroba, tetapi juga memfasilitasi pertukaran pengetahuan dan praktik terbaik,” ucap Satya. 

Frans C. Gultom

Berita Terbaru

Baca juga:

Follow International Media