Wednesday, 08 May 2024

Search

Wednesday, 08 May 2024

Search

Khonghucu dan Kebudayaan Tiongkok di Asia Tenggara -Perspektif Muslim

Prof Datuk Osman Bakar, Ph.D. (Al-Ghazali Chair of Islamic Thought at ISTAC- International Islamic University Malaysia)

Kata Pengantar

Dimanapun ada etnis Tionghoa, apalagi jika mereka hidup bermasyarakat, hampir pasti kita dapat menemukan di antara mereka jejak-jejak warisan budaya Khonghucu dalam berbagai bentuk dan tingkat visibilitas.

Asia Tenggara, khususnya Malaysia, Singapura, dan Indonesia, memiliki banyak diaspora Tiongkok. Kehadiran warisan budaya Khonghucu di wilayah ini tentu sangat besar sehingga berdampak besar.

Namun meskipun etnis Tionghoa ini, baik di Tiongkok maupun di Asia Tenggara, mengaku beragama Buddha, Muslim, atau Kristen, pengaruh budaya Khonghucu masih dapat dideteksi dalam diri mereka.

Ciri budaya etnis Tionghoa ini tidak sulit untuk dipahami. Hal ini berkaitan dengan kepribadian yang menjulang tinggi dan ajaran bijak dari satu orang, yaitu Konfusius (551 SM – c. 479 SM), nama latin Kongfuzi atau Kongzi.

Jika kita ingin menempatkan Konfusius dalam konteks global dalam ruang dan waktu, maka dari segi waktu kita dapat memperkenalkannya sebagai orang yang lebih muda sezaman dengan Pythagoras (570 SM – 490 SM) dan sebagai orang yang lebih tua sezaman dengan Plato (428 SM – 348 SM ).

Dari segi ruang, Konfusius adalah orang bijak dari Timur sedangkan Pythagoras dan Plato adalah orang bijak dari Barat.

Saya ingin menambahkan bahwa Muhammad sang Nabi Islam (c. 570 M – 632 M) muncul pada abad ke-7 M untuk berfungsi sebagai “jembatan” antara Timur dan Barat.

Konfusius adalah filsuf dan guru moral terhebat dalam sejarah Tiongkok. Pengaruhnya terhadap pemikiran dan peradaban Tiongkok sangat besar, mencakup semua hal, dan abadi. Ini melampaui perpecahan etnis dan agama dalam masyarakat Tiongkok.

Ide-ide dan nilai-nilai Khonghucu merupakan pembentuk utama “ke-Tionghoa-an” masyarakat Tiongkok. Apapun agama yang mereka anut, unsur-unsur Tionghoa yang dibentuk oleh Konfusius merupakan bagian integral dari identitas budaya mereka meskipun banyak orang Tionghoa modern yang tidak menyadarinya.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ajaran Konfusius dapat dideteksi dalam pemikiran Buddha, Muslim, dan Kristen di Tiongkok.

Berdasarkan kata pengantar saya mengenai Khonghucu dan kebudayaan Tiongkok di atas, kita dapat menantikan diskusi yang lebih kaya mengenai pokok bahasan yang luas ini dalam berbagai dimensinya dan dari berbagai sudut dan perspektif, terutama dalam konteks Asia Tenggara.

Saya bukan spesialis dalam bidang studi ini. Namun saya tahu banyak sekali yang telah ditulis dan dibicarakan mengenai topik ini oleh para akademisi dan cendekiawan, termasuk di Barat.

Jadi, saya tidak akan mengulangi apa yang telah dikatakan oleh orang lain. Yang ingin saya lakukan adalah membahas topik yang secara signifikan terkait dengan subjek Khonghucu dan budaya Tionghoa di Asia Tenggara, khususnya negara-negara berbahasa Melayu, yang masih sedikit dieksplorasi. Topik yang saya pikirkan adalah hubungan Muslim-Tiongkok Khonghucu di Malaysia, Indonesia, dan Brunei Darussalam yang mayoritas penduduknya adalah Muslim Melayu.

Untuk membahas topik ini diperlukan pembahasan mengenai pertemuan dan interaksi dalam sejarah antara Islam dan Khonghucu tidak hanya di ketiga negara Asia Tenggara ini tetapi juga di Tiongkok.

Faktanya, pertama-tama kita perlu membicarakan secara simultan mengenai hubungan dan interaksi antara Muslim dan Khonghucu Tiongkok serta antara Islam dan Khonghucu di Tiongkok sebelum membahas isu-isu yang sama dalam konteks dunia berbahasa Melayu. Alasan perlunya pendekatan ini bersifat historis.

Interaksi yang menjadi fokus perhatian saya saat ini terjadi pertama kali di Tiongkok, dan kemudian di Asia Tenggara. Interaksi di Tiongkok mempunyai dampak yang signifikan terhadap sejarah hubungan Muslim-Tiongkok Khonghucu di negara tersebut, namun tampaknya dampaknya meluas ke Asia Tenggara.

Interaksi antara Islam dan Khonghucu di Tiongkok

Mengetahui sejarah, kita dapat mengatakan bahwa masuk akal jika pertemuan pertama antara Khonghucu dan Islam terjadi di Tiongkok dan bukan di tempat lain. Ini adalah fakta sejarah.

Keadaan sejarah menentukan hal ini. Komunitas Muslim telah ada sejak lama di berbagai wilayah Tiongkok. Keberadaan mereka dapat ditelusuri kembali dalam sejarah sejak Dinasti Tang (618 M – 907 M).

Karena masjid merupakan simbol sentral kehidupan masyarakat dalam Islam, maka kita dapat berbicara tentang sejarah sosial Islam yang panjang di Tiongkok.

Dalam Islam, keberadaan masjid menyiratkan adanya komunitas Muslim di sekitarnya. Berdasarkan lokasi masjid-masjid awal di Tang Tiongkok, kita dapat menyimpulkan bahwa pada masa itu terdapat kelompok komunitas Muslim.

Masjid mereka dengan aktivitas keagamaan dan budayanya pasti menarik perhatian komunitas Tionghoa setempat masing-masing.

Pasti ada perjumpaan dan interaksi antara komunitas kecil Muslim dan mayoritas komunitas Tionghoa setempat bahkan pada awal sejarah tersebut, meskipun kita hanya mengetahui sedikit tentang perjumpaan awal ini.

Di sini saya berbicara tentang pertemuan bermakna antara kedua komunitas, lebih khusus lagi antara Islam dan Khonghucu, baik pada tingkat budaya maupun intelektual.

Pada hakikatnya merupakan perjumpaan dan interaksi antara satu kesadaran dengan kesadaran lainnya: di satu sisi terdapat kesadaran Tionghoa lokal akan kehadiran Islam sebagai sebuah komunitas, sebagai budaya, dan sebagai agama; di sisi lain, terdapat kesadaran komunitas Muslim pendatang terhadap budaya dan agama masyarakat asli yang berbeda dengan masyarakatnya.

Biasanya perjumpaan budaya pada tingkat eksternalitas terjadi pertama kali, baru kemudian disusul oleh perjumpaan intelektual pada tingkat gagasan dan pemikiran. Hal serupa juga terjadi pada pertemuan antara Islam dan Khonghucu di Tiongkok.

Kesadaran Muslim dan Tionghoa Khonghucu terhadap agama dan budaya masing-masing pada awalnya hanya sebatas pengamatan terhadap eksternalitas dan ciri-ciri fisik seperti tempat ibadah umum, kebiasaan makan, dan pakaian adat masing-masing.

Baru kemudian perjumpaan di antara mereka pada tataran gagasan, pemikiran, dan keyakinan agama mulai terwujud dalam tulisan-tulisan cendekiawan masing-masing.

Menurut Profesor Lee Cheuk Yin dari National University of Singapore, yang merupakan pionir studi interaksi intelektual antara Islam dan Khonghucu di Tiongkok, interaksi tersebut baru terjadi pada dinasti Ming (1368 M – 1644 M).

Dapat dimengerti bahwa apresiasi Muslim yang sesungguhnya terhadap Konfusius dan Khonghucu di Tiongkok tidak akan terwujud jika mereka tidak fasih berbahasa Mandarin dan kefasihan ini hanya terlihat pada masa Dinasti Ming.

Apa yang memungkinkan terjadinya perkembangan baru dalam sejarah sosial Muslim di Tiongkok ini adalah kebijakan Sinisasi Ming.

Sedangkan bagi masyarakat Tionghoa, kesempatan mereka untuk memahami dan mengapresiasi Islam dan budaya Islam baru akan muncul setelah para cendekiawan Muslim sendiri telah menulis tentang Islam dalam bahasa Tionghoa.

Dalam kedua kasus tersebut, literasi Muslim dalam bahasa Mandarin sangatlah penting. Oleh karena itu, betapa pentingnya kebijakan Sinisasi Ming bagi sejarah Islam di Tiongkok telah menjadi perhatian beberapa cendekiawan Tiongkok.

Raphael Israel, seorang sarjana sejarah Islam dan Tiongkok asal Israel di Hebrew University of Jerusalem, berbagi pandangannya tentang pentingnya transformasi Ming terhadap umat Islam di Tiongkok sebagai berikut: sebelum periode Ming, katanya, orang hanya dapat berbicara tentang “Muslim di Tiongkok” namun sejak zaman Ming dan seterusnya, orang dapat menyebut “Muslim Tiongkok”.

Kedua deskripsi tersebut tidak mempunyai arti yang sama. Apa yang ingin dikatakan Israeli adalah bahwa terjadi transformasi mendalam terhadap Islam dan Muslim di Tiongkok selama periode Ming.

Transformasi yang terjadi bersifat kultural dan intelektual seperti yang saya sebutkan sebelumnya. Donald James Leslie (w. 2004), seorang sejarawan Australia, yang terkenal karena karyanya mengenai Yahudi Tiongkok, dan Lee Cheuk Yin yang saya kutip sebelumnya sependapat dengan Israeli mengenai pengamatannya terhadap transformasi yang dimaksud.

Leslie menunjukkan prestasi kesusastraan Muslim dalam puisi dan prosa Tiongkok, yang dengan mudah menyatu dengan banyak sekali kesusastraan Tiongkok karena kualitas tulisan mereka sulit dibedakan dengan karya sastra asli Tiongkok.

Lee Cheuk Yin menyoroti meningkatnya fenomena perkawinan campuran Muslim dengan orang Tionghoa, penggunaan nama Tionghoa, dan kefasihan mereka dalam berbahasa Mandarin.

Yang paling signifikan dari sudut pandang perjumpaan intelektual antara Islam dan Khonghucu di Tiongkok adalah pengamatan Cheuk Yin yang menyatakan bahwa “pada masa inilah tulisan-tulisan tentang nilai-nilai Islam dalam bahasa Tiongkok berkembang.”

Perkembangan intelektual ini menyebabkan munculnya cendekiawan Muslim Tiongkok yang menguasai Islam dan Khonghucu. Para sarjana ini oleh beberapa orang disebut sebagai “Muslim Khonghucu”.

Hal ini merupakan ukuran kedekatan Islam dengan Khonghucu dimana istilah “Muslim Khonghucu” telah digunakan di Tiongkok, namun tidak ada referensi yang pernah dibuat oleh siapa pun untuk “Muslim Tao” atau “Muslim Budha.”

Transformasi budaya dan intelektual kehadiran Islam di Tiongkok yang dimulai dari awal pemerintahan Ming pada pergantian abad ke-15 berdampak besar pada sejarah Islam selanjutnya di Tiongkok dan interaksinya dengan Khonghucu.

Kemahiran umat Muslim dalam berbahasa Mandarin tampaknya sudah terlihat sejak awal abad ke-15. Misalnya, Ma Huan (1380 M – 1460 M), seorang Muslim, dipekerjakan oleh Zheng He (1371 M – 1433 M) sebagai penerjemah karena kemahirannya dalam bahasa Mandarin, Arab, dan Persia.

Zheng He (Cheng Ho), yang lahir di keluarga Muslim, adalah Laksamana armada Tiongkok Ming yang terkenal. Ma Huan bergabung sebagai awak kapal dalam pelayaran keempat, keenam, dan ketujuh Cheng Ho yang membawanya ke banyak tempat di Asia Tenggara, termasuk Malaka, Filipina, Brunei, dan pulau Sumatra dan Jawa di Indonesia.

Ada laporan tradisional yang dilestarikan oleh masyarakat setempat di berbagai tempat yang pernah dikunjungi Cheng Ho bahwa ia meninggalkan para pedagang Tiongkok, pengusaha, dan misionaris Muslim untuk menetap di tempat-tempat tersebut.

Tujuh pelayaran Cheng Ho antara tahun 1405 M dan 1433 M dapat dipandang sebagai ‘sumber’ gelombang besar migran Tiongkok pertama ke Asia Tenggara, gelombang kedua terjadi pada masa kolonial Eropa.

Beberapa dari pemukim Tionghoa ini beragama Islam, dan sebagian lagi beragama Konghucu. Fakta ini cukup signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa Islam Tionghoa memainkan peran penting dalam pendirian pemukiman Tionghoa awal di Asia Tenggara.

Dalam narasi yang kami sampaikan dalam kuliah ini, asal muasal perjumpaan dan interaksi Islam-Khonghucu di Asia Tenggara dapat ditelusuri dari fenomena sosio-kultural serupa yang terjadi berabad-abad sebelumnya di Tiongkok. Cheng Ho-lah yang memberikan kaitan historis antara dua pertemuan regional antara Islam dan Khonghucu.

Di Asia Tenggara, komunitas Melayu-Muslim dan Tionghoa diketahui hidup berdampingan di wilayah tersebut hanya pada pergantian abad ke-15. Namun Islam datang lebih awal ke dunia Melayu dibandingkan Khonghucu.

Migrasi Tionghoa ke Asia Tenggara terjadi setelah berdirinya pemerintahan Melayu-Muslim pertama di Asia Tenggara, yaitu pada abad ke-13 di pulau Sumatera di Indonesia.

Apresiasi Muslim terhadap Konfusius dan Khonghucu

Ada catatan sejarah yang menunjukkan bahwa ada interaksi budaya yang terjadi pada abad ke-15 antara Muslim Melayu dan Khonghucu Tionghoa, serta antara Muslim Melayu dan Muslim Tionghoa.

Interaksi semacam itu memang terjadi di Kesultanan Malaka yang mempunyai hubungan diplomatik dengan Tiongkok Ming.

Namun tidak ada bukti sejarah yang menunjukkan adanya pertemuan intelektual antara Islam dan Khonghucu pada periode yang sama atau pada masa kolonial modern.

Namun, nampaknya terdapat bukti sastra dalam kesusastraan Melayu kuno yang menunjukkan kemungkinan adanya pengaruh Khonghucu terhadap pemikiran Melayu pada periode pra-modern. Saya tertarik dengan kemungkinan adanya hubungan konseptual antara kata Melayu ‘Sang’ dan kata China “Shang’ seperti yang ditemukan dalam bahasa Mandarin  ‘Shangdi’ atau ‘Shang Ti.’

Menurut kamus bahasa Melayu, arti utama dari kata ‘sang’ berarti penghormatan, penghargaan dan rasa hormat terhadap nama yang diletakkan di depannya, meskipun penggunaannya dapat mengandung arti negatif.

Misalnya, istilah ‘Sang Pencipta’ berarti Sang Pencipta dan istilah ‘Sang Purba’ berarti Yang Purba atau Leluhur Agung. Konfusius menyebut ‘Shangdi’ sebagai Tuhan atau “Penguasa Yang Maha Tinggi”. Oleh karena itu, kata ‘Shangdi’ dalam bahasa Mandarin memiliki arti yang mirip dengan bahasa Melayu ‘Yang Maha Tinggi’ dan bahasa Arab ‘Allahu Ta’ala’ yang sering digunakan oleh Muslim Melayu.

Berdasarkan pembahasan epistemologi ‘Sang’ dan ‘Shang’, ada kemungkinan untuk berargumen bahwa kedua kata tersebut memiliki bidang semantik yang tumpang tindih.

Dalam pandangan saya, kata ‘Sang’ kemungkinan besar berasal dari kata Mandarin ‘Shang’ yang bila diterapkan pada gagasan tentang keTuhanan akan memberikan arti ‘yang tertinggi dan transenden.’

Lebih lanjut, saya berpendapat bahwa melalui interaksi antara Khonghucu dan Islam sehingga kata ‘Sang’ menjadi kosakata Melayu kuno.

Saya ingin menyebutkan beberapa contoh lagi untuk menggambarkan interaksi antara Islam dan Khonghucu di negara-negara berbahasa Melayu namun kali ini mengacu pada periode modern. Pertama, pandangan ulama dan pemikir kenamaan Indonesia, Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) (1908 M -1981 M) tentang Khonghucu. Mengingat kedudukan Konfusius yang dihormati dalam peradaban Tiongkok, timbul perdebatan di kalangan Melayu-Indonesia mengenai status spiritualnya apakah ia seorang nabi sebagaimana dipahami dalam Islam.

Dalam tafsir Alqurannya yang terkenal, Hamka memberikan pendapatnya bahwa Konfusius adalah seorang nabi yang diutus kepada masyarakat Tiongkok. Pada konferensi internasional bersejarah tentang Dialog Islam dan Khonghucu pada bulan Maret 1995 di Universitas Malaya yang saya bantu selenggarakan, yang pertama dan terbesar, saya mempresentasikan sebuah makalah berjudul “Confucious and the Analects in the Light of Islam,” yang di dalamnya saya angkat kembali isu Konfusius sebagai kemungkinan nabi Islam. Argumen saya adalah bahwa Konfusius adalah seorang bijak dan agung. Dalam Islam istilah orang bijak adalah hakim (jamak: hukama’), yang secara harafiah berarti orang bijak. Dalam hal peringkat spiritual dan intelektual, seorang hakim hanya satu tingkat di bawah nabi. Namun saya juga berpendapat bahwa menerima Konfusius sebagai nabi tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sebaliknya, ada banyak indikator dalam kehidupan dan pemikiran Konfusius yang membuatnya pantas dianggap sebagai nabi.

Terkait dengan isu Konfusius dan kenabian adalah isu apakah Khonghucu harus diperlakukan sebagai filsafat atau agama. Ini adalah contoh kedua saya mengenai interaksi modern antara Islam dan Khonghucu di dunia Melayu.

Bagi penganut Khonghucu di Indonesia persoalan ini sangatlah penting. Mereka telah berjuang lama untuk menjadikan Khonghucu sebagai salah satu agama resmi di Indonesia. Di bawah pemerintahan Sukarno, Khonghucu diakui sebagai salah satu agama resmi negara (selain Islam, Hindu, Budha, Katolik, dan Protestan) namun status tersebut hilang pada tahun 1978 pada masa Orde Baru Suharto. Sekelompok aktivis Khonghucu menghadiri Konferensi Islam dan Khonghucu tahun 1995 dan meminta bantuan saya.

Mereka mengatakan kepada saya bahwa karena Khonghucu tidak diakui sebagai agama resmi, umat Khonghucu tidak diperbolehkan melangsungkan pernikahan menurut ritual Khonghucu.

Saya mencoba membantu dengan mendekati beberapa pimpinan pemerintahan Indonesia, termasuk mantan Presiden Abdul Rahman Wahid untuk memberikan argumentasi mengenai kasus mereka. Barulah pada tahun 2006 pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, agama Khonghucu kembali resmi diakui sebagai agama oleh negara. Dalam makalah saya pada Konferensi tahun 1995, saya berargumentasi dengan tegas bahwa Khonghucu seperti Islam adalah sebuah agama dan filsafat. Saya mengatakan kepada para aktivis Khonghucu Indonesia bahwa mereka dapat menggunakan makalah saya sebagai dokumen pendukung kasus mereka jika diperlukan.

Contoh saya yang ketiga dan terakhir adalah Konferensi Internasional tentang Dialog Islam dan Khonghucu tahun 1995 yang baru saja disebutkan. Ini adalah peristiwa bersejarah dan penting di mana para sarjana terkemuka Islam dan Khonghucu, termasuk Profesor Tu Weiming dari Universitas Harvard, berbicara dan mempresentasikan makalah mereka.

Sekitar 1.000 peserta dari seluruh dunia menghadiri Konferensi tersebut. Dibuka oleh Wakil Perdana Menteri Malaysia saat itu, Dato Seri Anwar Ibrahim, Konferensi ini memberikan dampak yang besar terhadap komunitas Muslim dan Tionghoa di Asia Tenggara dan yang menarik di Tiongkok sendiri. Hal ini membangkitkan minat baru terhadap dialog Islam-Khonghucu. Ada peningkatan keluaran sastra dalam studi hubungan Islam-Khonghucu.

Kesimpulan

Saya melihat kemungkinan terjadinya fase interaksi Islam-Khonghucu yang baru dan lebih dinamis, baik pada tingkat budaya maupun intelektual di tahun-tahun mendatang. Kita bisa melihat periode dialog yang lebih aktif, terutama jika para pemimpin nasional, regional, dan global melihat manfaat besar dari dialog peradaban seperti yang digambarkan dalam inisiatif dialog Islam-Khonghucu. Namun, penting juga untuk menunjukkan peran penting yang perlu dimainkan oleh akademisi dan cendekiawan dalam meningkatkan upaya dialog antarbudaya. ***

Sukris Priatmo

Berita Terbaru

Baca juga:

Follow International Media