Internationalmedia.co.id melaporkan, tegangan kembali meningkat antara Iran dan Amerika Serikat terkait program nuklir Iran. Teheran dengan tegas menyatakan memiliki hak penuh untuk memperkaya uranium, meskipun Barat mencurigai upaya pengembangan senjata nuklir. Pernyataan ini disampaikan Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, melalui media sosial X. Araghchi beralasan, keanggotaan Iran dalam Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) memberikan landasan hukum atas aktivitas tersebut. Ia menekankan beberapa negara anggota NPT juga melakukan pengayaan uranium tanpa memiliki senjata nuklir.
Pernyataan Iran ini tentu memantik reaksi. Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya selama ini terus menuduh Iran mengembangkan senjata nuklir, tuduhan yang selalu dibantah Teheran dengan alasan program nuklirnya murni untuk tujuan sipil. Iran saat ini memperkaya uranium hingga 60 persen, jauh melampaui batas 3,67 persen yang disepakati dalam kesepakatan nuklir 2015. Meskipun masih di bawah 90 persen—tingkat kemurnian yang dibutuhkan untuk senjata nuklir— angka tersebut tetap menjadi perhatian internasional.

Perundingan nuklir antara Iran dan AS yang dimulai sejak 12 April lalu, mengalami hambatan. Putaran keempat perundingan yang dijadwalkan Sabtu lalu ditunda dengan alasan logistik, menurut mediator Oman. Perundingan ini merupakan kontak tingkat tertinggi kedua negara sejak AS menarik diri dari kesepakatan nuklir 2015 di era pemerintahan Donald Trump. Menariknya, Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, menuntut Iran menghentikan pengayaan uranium, mengatakan hanya negara-negara pemilik senjata nuklir yang melakukan pengayaan uranium. Pernyataan ini semakin memperkeruh suasana dan menambah ketidakpastian dalam upaya penyelesaian damai krisis nuklir Iran.