Perdana Menteri Thailand, Paetongtarn Shinawatra, meminta maaf secara publik menyusul bocornya rekaman percakapan teleponnya dengan mantan Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen. Internationalmedia.co.id melaporkan, insiden ini telah memicu gelombang protes dan mengancam stabilitas pemerintahannya yang baru beberapa bulan berjalan.
Permintaan maaf disampaikan Paetongtarn dalam konferensi pers yang dihadiri para panglima militer dan petinggi Pheu Thai, partai yang dipimpinnya. Ia mengakui percakapan yang bocor itu telah menimbulkan kemarahan publik. Dalam percakapan tersebut, Paetongtarn membahas sengketa perbatasan dengan Kamboja, dan menyebut seorang komandan militer Thailand sebagai "lawan". Sapaan akrabnya kepada Hun Sen sebagai "paman" juga menuai kritik tajam di media sosial.

"Saya harus meminta maaf karena saya sama sekali tidak tahu percakapan itu direkam," ujar Paetongtarn, seperti dikutip dari media lokal. Ia menegaskan komitmen pemerintahnya untuk menjaga kedaulatan wilayah Thailand.
Namun, permintaan maaf tersebut tampaknya belum cukup meredam gejolak politik. Partai Bhumjaithai, mitra koalisi utama, telah menarik dukungannya, menilai tindakan Paetongtarn telah mencoreng martabat negara dan militer. Kehilangan 69 kursi parlemen dari Bhumjaithai membuat pemerintahan Paetongtarn kehilangan mayoritas suara di parlemen.
Situasi ini mendorong spekulasi akan digelarnya pemilihan umum mendadak, hanya dua tahun setelah pemilu sebelumnya. Dua partai koalisi lainnya tengah mengadakan pertemuan untuk membahas langkah selanjutnya. Jika salah satu partai koalisi tersisa menarik dukungan, pemerintahan Paetongtarn akan runtuh.
Demonstrasi anti-pemerintah pun terjadi di depan Government House, dengan para pendemo menuntut pengunduran diri Paetongtarn. Beberapa di antaranya merupakan veteran gerakan "Yellow Shirts", kelompok yang dikenal anti-Thaksin Shinawatra, ayah Paetongtarn. Nasib pemerintahan Paetongtarn kini berada di ujung tanduk, di tengah tekanan politik yang semakin kuat.