Internationalmedia.co.id – Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, membuat gebrakan dengan melaporkan Perdana Menteri saat ini, Anwar Ibrahim, ke pihak kepolisian. Laporan ini terkait dengan Perjanjian Perdagangan Timbal Balik atau Agreement on Reciprocal Trade (ART) antara Malaysia dan Amerika Serikat yang dianggap bermasalah.
Menurut Mahathir, tindakan Anwar Ibrahim dalam menandatangani perjanjian tersebut dinilai tidak memiliki mandat penuh dari badan-badan yang seharusnya mewakili Federasi Malaysia. "Perjanjian itu tidak sah karena beliau (Anwar) bukan satu-satunya perwakilan Federasi. Perjanjian semacam itu seharusnya memerlukan persetujuan dari empat badan utama: Yang di-Pertuan Agong, Dewan Rakyat, Dewan Penguasa, dan eksekutif (pemerintah)," tegas Mahathir dalam konferensi pers usai membuat laporan di Markas Besar Kepolisian Distrik Putrajaya, seperti dikutip Internationalmedia.co.id.

Mahathir berpendapat bahwa persetujuan dari keempat pihak tersebut tidak pernah didapatkan, sehingga perjanjian tersebut dianggap inkonstitusional. Ia menyoroti bahwa dokumen perjanjian setebal 400 halaman itu tidak pernah diungkapkan kepada publik dan mengandung klausul yang menyerahkan kekuasaan negara kepada Amerika Serikat.
Lebih lanjut, Mahathir menyoroti status dan posisi bumiputera dalam perjanjian tersebut. Ia menyatakan bahwa hak-hak istimewa bumiputera tidak bisa diberlakukan pada barang atau perdagangan Amerika, sehingga kekuasaan AS mengesampingkan hak istimewa bumiputera.
Mahathir mendesak pihak kepolisian untuk melakukan investigasi mendalam terkait dugaan pelanggaran hukum nasional atau Konstitusi oleh Anwar Ibrahim. Ia juga mencatat bahwa telah ada lebih dari 139 laporan polisi yang diajukan oleh berbagai pihak terkait isu yang sama.
ART, yang ditandatangani oleh Anwar Ibrahim dan Presiden AS saat itu, Donald Trump, pada 26 Oktober lalu, bertujuan untuk meningkatkan aktivitas ekonomi, menyesuaikan tarif, dan memperkuat kerja sama antara Malaysia dan Amerika Serikat.
Sebelumnya, Menteri Investasi, Perdagangan dan Industri Malaysia, Tengku Zafrul Aziz, telah membantah klaim bahwa ART akan menghilangkan prioritas bumiputera dalam kebijakan pemerintah dan perusahaan-perusahaan terkait pemerintah.

