Internationalmedia.co.id – Ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan Venezuela kembali memanas setelah sebuah pesawat pengebom B-1B milik AS terpantau terbang di atas Laut Karibia, dekat dengan wilayah perairan Venezuela, pada Kamis (23/10) waktu setempat. Aksi ini merupakan unjuk kekuatan kedua oleh militer AS di kawasan tersebut dalam kurun waktu sepekan terakhir, memicu spekulasi dan kekhawatiran di kawasan Amerika Latin.
Meskipun Presiden AS Donald Trump membantah laporan terkait pengerahan pesawat pengebom tersebut, data dari situs pelacakan penerbangan Flightradar24 menunjukkan sebaliknya. Pesawat pengebom B-1B itu terdeteksi terbang menuju pantai Venezuela pada Kamis sore sebelum berbalik arah ke utara dan menghilang dari radar.

Penerbangan ini terjadi di tengah kampanye militer AS yang menyasar dugaan pengedar narkoba di Karibia. Pengerahan aset militer AS ini menimbulkan kecurigaan di Caracas bahwa Washington memiliki agenda tersembunyi untuk melakukan perubahan rezim di Venezuela.
Trump, saat ditanya mengenai laporan tersebut, membantah kebenarannya. Namun, ia menegaskan bahwa Washington "sangat tidak senang dengan Venezuela karena berbagai alasan" dan mengisyaratkan akan ada "aksi darat" di negara tersebut.
Sebelumnya, sebuah pesawat pengebom B-52 juga terpantau terbang berputar-putar di lepas pantai Venezuela selama beberapa jam. Militer AS mengklaim misi tersebut sebagai demonstrasi komitmen Washington untuk mencegah ancaman musuh dan meningkatkan kesiapan pasukan.
AS telah mengerahkan pesawat tempur siluman dan kapal Angkatan Laut sebagai bagian dari upaya pemberantasan narkoba di Karibia. Namun, Washington belum memberikan bukti konkret bahwa target-target yang diserang terlibat dalam penyelundupan narkoba. Serangan-serangan AS sejak 2 September lalu telah menewaskan sedikitnya 37 orang.
Venezuela menuduh AS berkomplot untuk menggulingkan Presiden Nicolas Maduro. Maduro bahkan mengklaim memiliki 5.000 rudal darat-ke-udara portabel buatan AS untuk melawan pasukan AS. Ketegangan regional terus meningkat akibat kampanye militer AS ini, meningkatkan risiko konflik yang lebih luas di kawasan tersebut.

