Monday, 25 September 2023

Monday, 25 September 2023

Diskusi Awal Tahun IKI Angkat Tema Kewarganegaraan, Agama, Dan Politik Identitas

Para pembicara dan moderator diskusi berfoto bersama.

JAKARTA—Indonesia segera memasuki tahun politik seiring Pemilihan Umum 2024 yang semakin dekat. Kontestasi paling sengit tentunya akan terjadi pada pemilihan presiden, dimana nama-nama bakal calon presiden sudah mulai beredar bahkan sejak tahun lalu.

Setidaknya sudah ada beberapa nama yang mencuat dan menjadi pilihan warganegara Indonesia di berbagai survei.

Momentum pemilu memanglah masa dimana hak memilih dan dipilih dari setiap warganegara direalisasikan. Hak politik inilah yang menjadi pembeda antara warganegara dan bukan warganegara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

          Demokratisasi yang dialami Indonesia sejak reformasi 1998, telah membuka ruang-ruang baru yang di satu sisi memberi kebebasan bereskpresi, pembangunan kesetaraan hingga supremasi sipil.

Para pembicara saat memaparkan materi diskusi.

Namun kebebasan di masa demokrasi juga telah membuka pemanfaatan isu primordial, khususnya agama ke dalam arena perebutan kekuasaan.

Sejarah Indonesia mencatat bahwa memang beberapa kali identitas keagamaan telah dimanfaatkan dalam pertarungan politik praktis. Salah satu yang muktahir adalah Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 silam, dan dikhawatirkan juga akan terjadi pada Pemilu 2024 yang akan datang.

          IKI (Institut Kewarganegaraan Indonesia), sebuah yayasan nirlaba, mengadakan diskusi awal tahun dengan tema yang kontekstual dan relevan dengan kondisi bangsa saat ini.

Kewarganegaraan, Agama, dan Politik Identitas adalah tema yang dipilih, dengan narasumber Prof. Musdah Mulia (Ketua ICRP), Khoirul Muqtafa, Ph.D (Peneliti PMB BRIN) dan KH Saifullah Mashum, M.Si (Ketua II IKI).

Diskusi yang diselenggarakan di Function Hall Wisma 46, pada Selasa (31/1) ini, dimoderatori oleh Dr. Rofiqul Umam Ahmad.

          “Memang yang kurang dari kondisi masyarakat kita adalah literasi agamanya, dan intepretasi-intepretasi yang lebih mengarah pada hal-hal yang bersifat positif. Seperti kemanfaatan bagi semesta, atau kebahagiaan bagi semua makhluk. Kekurangan inilah yang menyebabkan masyarakat masih banyak yang termakan hoax, dan tidak bisa menyaring informasi dengan bijak. Tidak bisa menempatkan dirinya sebagai warganegara, tapi masih sebatas bagian dari kelompoknya,” ungkap Musdah.

          Sementara Saifullah Mashum menyampaikan bahwa sesungguhnya politik identitas, bisa dianggap wajar jika memperjuangkan hal-hal yang bersifat positif dan tidak merugikan siapapun.

 “Menjadi persoalan kalau politik identitas digunakan untuk membelah antara sesama warganegara Indonesia berdasarkan tidak hanya agama, bisa juga etnis atau status social,” ujar Mashum.

Dia juga meyakini bahwa pemanfaatan politik identitas yang masuk kategori buruk, justru akan merugikan pihak yang memanfaatkan hal tersebut di tengah masyarakat yang majemuk dengan tingkat kewarganegaraan yang matang.

          Hal yang lebih mendasar dipaparkan Khoirul Muqtafa, secara teoritis memang politik identitas menemukan ruangnya di era cultural turn  atau kondisi-kondisi tertentu dari multikulturalisme.

“Memang secara teori politik identitas dapat dikategorikan good, bad, dan ugly. Sayangnya apa yang terjadi 2017 lalu itu bentuk ugly-nya. Karena mengunggulkan satu kelompok dan seolah meniadakan kelompok lainnya,” kata Peneliti BRIN tersebut. ***

Sukris Priatmo

Berita Terbaru

Baca juga:

Follow International Media